Selasa, 02 November 2010

Sejarah Filsafat Yunani dan Islam

Sejarah  filsafat bermula di pesisir Samudra Mediterania bagian Timur pada 
abad ke-6 SM. Sejak semula filsafat ditandai dengan rencana umat manusia untuk 
menjawab persoalan seputar alam, manusia, dan Tuhan. Itulah sebanya filsafat 
pada gilirannya mampu melahirkan sains-sains besar, seperti fisika, etika, 
matematika dan metafisika yang menjadi batu bata kebudayaan dunia. Ketika 
filsafat bersentuhan dengan Islam maka yang terjadi bahwa filsafat terinspirasi 
oleh pokok-pokok persoalan yang bermuara pada sumber-sumber Wahyu Islam. Semua 
filosof muslim seperti al Kindi, al Farabi, Ibn Sina, Mulla Sadra, Suhrawardi 
dan lain sebagainya hidup dan bernafas dalam realitas al Quran dan Sunnah. 
Kehadiran al Quran dan Sunnah telah mengubah pola berfilsafat dalam konteks 
Dunia Islam. Realitas dan proses penyampaian al Quran merupakan perhatian utama 
para pemikir Islam dalam melakukan kegiatan berfilsafat.
Pada masa kejayaannya, kaum Muslimin dengan tulus dan percaya diri telah menyerap berbagai ragam budaya lain sebagai hasil interaksinya dengan bangsa-bangsa bukan Arab, terutama setelah pembebasan (futuhat) daerah-daerah di sekeliling jazirah Arabia. Penduduk di kawasan-kawasan yang dibebaskan itu meliputi Spanyol di Barat sampai Persia di Timur. Mereka tidak dipaksa memeluk Islam, karena ajaran Islam melarang penyebaran agama secara paksa. Sebagian besar daerah itu memang kemudian mengalami Islamisasi, akan tetapi berlangsung dengan lambat dan dengan cara damai. Di bawah pemerintahan kaum Muslimin yang menganut toleransi agama yang tinggi, di semua kawasan selalu terdapat daerah-daerah yang dihuni oleh minoritas non muslim, terutama orang-orang Keristen dan Yahudi.

Abraham S. Halkin dalam bukunya The Judeo-Islamic Age, The Great Fusion mengakui dengan jujur bahwa orang-orang Arab, sekalipun menjadi pemenang secara militer dan politik akan tetapi tidak memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukkan dengan sikap menghina. Kekayaan budaya-budaya Syria, Persia, dan Hindu mereka salin ke dalam bahasa Arab segera setelah mereka temukan. Penerjemahan buku ke dalam bahasa Arab merupakan kebijaksanaan langsung dari para Khalifah dari dinasti Abasiyah. Dimulai oleh Khalifah Abu Jafar Al Manshur (754-774 M), program tersebut diteruskan oleh pengganti-penggantinya dan berpuncak pada masa pemerintahan Khalifah Ma'mun (813-833 M).

Buku-buku yang terlebih dahulu diterjemahkan ialah Logika, kemudian diikuti oleh Teologi, Etika dan Psikologi. Prioritas penerjemahan buku Logika didasarkan kepada dua hal. > Pertama, karena pada saat itu sering berlangsung perdebatan agama dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Untuk bahan perdebatan tersebut kaum Muslimin merasa perlu memahami Logika Yunani, agar argumentasi dapat disampaikan dengan sebaik-baiknya. > Kedua, karena banyaknya orang-orang Persia yang masuk Islam. Mereka ini sebelumnya telah mempelajari Filsafat Yunani terutama Logika. Dengan penyebaran filsafat Yunani ini maka terasa pengaruh cara berpikir mereka di kalangan cendekiawan Muslim pada saat itu, terutama di lingkungan para filosof dan juga ahli Ilmu Kalam. Pada waktu itu filsafat merupakan salah satu pengetahuan yang sama dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya seperti Kimia, Astronomi dan sebagainya, yang termasuk ilmu ‘umum’ (aqliyah) di luar ilmu ‘agama’ (naqliyah).

Buku-buku filsafat yang diterjemahkan cukup banyak. Di antaranya dan terutama adalah buku-buku karangan Plato, Aristoteles, dan buku-buku dari para filosof Neo Platonis terutama karangan Plotinus. Buku Plato mencakup pembicaraan tentang syarat-syarat pengetahuan yang benar, untuk membedakannya dengan pengetahuan yang salah, pembicaraan tentang fisika, tentang psikologi dan etika, dan tentang politik. Yang paling berpengaruh di kalangan filosof muslim adalah karangan Aristoteles, terutama Logika. Karena itu kemudian berkembang Ilmu Mathiq di kalangan kaum Muslimin, yang berdasarkan sylogisme ajaran filsuf Yunani ini; nama lengkap ilmu ini adalah Al Manthiq Al Aristhi. Di samping itu disebarluaskan pula buku-buku Aristoteles tentang fisika, etika, dan metafisika. Atas tulisan filosof ini banyak buku-buku yang dibuat oleh pengarang Muslim, baik yang berupa komentar, ulasan maupun kritik.

Meskipun sebenarnya filsafat adalah pengetahuan yang asing bagi bangsa Arab, tetapi ternyata diterima dengan baik pada abad-abad permulaan. Memang kemudian terjadi penolakan oleh ahli pikir Islam, namun itu baru pada abad ke-4 H (masa Imam Al Asy'ari), atau bahkan abad ke-5 H (masa Al Ghazali). Sedangkan penerjemahan buku-buku filsafat berlangsung sejak abad ke-3 atau sebelumnya. Dengan demikian lebih satu abad lamanya pikiran-pikiran Yunani berpengaruh besar kepada kaum Muslimin. Ini disebabkan karena buah pikiran Yunani tersebut, terutama Logika, dianggap sangat bagus bahkan cukup mengagumkan untuk membuka wawasan dan jalan berpikir untuk memahami berbagai pengetahuan baru, dan untuk menangkap kebenaran agama dengan nuansa yang seluas-luasnya.

Maka wajarlah bahwa yang paling berperan dalam pengembangan pikiran Yunani ini adalah kaum Mu'tazilah(mereka banyak mengandalkan akal pikiran dalam memahami agama), dan para filosof Islam. Meskipun kemudian para tokoh Mu'tazilah ternyata tidak mau masuk terlalu dalam di dunia filsafat karena anggapan bahwa tugas utama mereka adalah di bidang agama. Sehingga yang benar-benar berkecimpung di bidang ini adalah para filosuf.

Meskipun para filosof menaruh kekaguman kepada Plato, Aristoteles dan yang lain, pemikiran mereka itu tidak diterima mentah-mentah. Berbagai ulasan dan kritik dilontarkan terhadap kejanggalan-kejanggalan yang ada pada pemikiran filosof Yunani, terutama yang berkenaan dengan aqidah. Di antara kritik yang mashur adalah yang ditulis Al Farabi dengan judul Al Jam'u bainal Ra'yai al Hakimain (Perpaduan antara dua filosof; Plato dan Aristoteles).

Orang yang dianggap sebagai filosof Islam pertama adalahAl Kindi yang nama aslinya adalah Abu Yusuf bin Ishak (806-873 M). Keturunan Arab asli ini adalah anak Gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al Mahdi dan Harun Al Rasyid. Dia memperoleh kedudukan yang tinggi pada pemerintahan Al Ma'mun dan Ahmad, bahkan menjadi guru khalifah tersebut. Dengan sponsor Khalifah dia menjadi pelopor penerjemahkan buku-buku asing. Al Kindi dalam risalahnya mengemukakan kebaikan-kebaikan filsafat, untuk menjawab pandangan sebagian ulama yang mengganggap ilmu itu berasal dari orang-orang kafir dan hanya meluruskan jalan menuju kekufuran.

Menurut Al Kindi filsafat justru merupakan ilmu yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berpikir. Filsafat adalah ilmu untuk memahami sesuatu kebenaran menurut kemampuan manusia, yang mencakup ilmu Ketuhanan dan Keesaan (wahdaniyah), dan ilmu keutamaan (fadhilah). Dengan demikian filsafat mempelajari semua yang berguna dan cara memperolehnya. Jadi tujuan filsafat bersifat teori, yaitu memperoleh kebenaran, dan bersifat praktis yakni mewujudkan kebenaran itu dalam bentuk perbuatan. Semakin dekat seseorang kepada kebenaran, semakin dia mendekati kesempurnaan.

Meskipun tidak mempunyai sistem filsafat sendiri, dan karena itu tidak bisa disebut sebagai pendiri filsafat Islam, Al Kindi sangat berjasa dalam merintis masuknya filsafat dalam dunia Arab. Dia menggunakan istilah-istilah Arab untuk mengganti kata-kata Yunani dengan definisi yang ringkas tetapi tepat. Dia melakukan telaah dalam bidang Matematika, Fisika, Psikologi, dan Ketuhanan dengan berangkat dari pemikiran Yunani namun tetap mempertahankan kepribadian sendiri. Dia tidak sekedar meneruskan pemikiran Plato dan Aristoteles akan tetapi memilih yang sesuai dengan pemikiran dan keyakinan Islam.

Orang yang dipandang sebagai pelopor Filsafat Islam adalah Al Farabi (870 - 950 M). Nama aslinya Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Ayahnya orang Iran dan ibunya orang Tukeshtan. Ketika remaja Al Farabi bermukim di Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masa itu. Pernah berguru di Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil tetapi kemudian kembali ke Baghdad. Selama 30 tahun di kota itu dia mendalami, mengajar, menulis buku-buku, dan mengulas filsafat. Al Farabi telah mampu menciptakan mazhab filsafat yang khas, dan menjadi guru atau acuan bagi para filsuf yang kemudian seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Masyarakat menggelarinya ‘guru kedua’. Sedangkan yang dipandang sebagai ‘guru pertama’ adalah Aristoteles. Tulisan Al Farabi banyak diterjemahkan ke dalam bahasa lain, terutama Ibrani.

Sayang sekali karangan-karangan filsuf itu kebanyakan berupa makalah pendek sehingga tidak terlalu dikenal. Filsafat Al Farabi merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo Platonisme dengan pemikiran Islam dari aliran Syi'ah Imamiah. Dia sangat percaya kepada ketunggalan filsafat, karena baginya kebenaran itu satu. Perbedaan pendapat dan aliran hanyalah sesuatu yang nampak di permukaan. Sedangkan hakekat kebenaran hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Dengan pandangan dasar seperti itu dia selalu berusaha untuk memadukan aliran yang bermacam-macam itu. Bahkan dia berusaha mempertemukan filsafat yang merupakan buah pikiran manusia itu dengan wahyu. Apabila wahyu tidak bisa dipahami dengan akal (yang dikembangkan dengan filsafat), maka dia memaknai wahyu tersebut dengan ta'wil (tidak dengan makna harfiah atau yang tersurat akan tetapi dengan makna yang tersirat).

Filsuf Islam yang berikutnya adalah Ibnu Sina (980-1037 M). Dia dilahirkan dan dibesarkan di Bukhara. Pada masa kecilnya ia belajar Al Qur’an dan Astronomi, kemudian Matematika, Fisika, Logika dan Metafisika. Sesudah itu memperlajari ilmu kedokteran sehingga dikenal sebagai seorang dokter yang pandai. Karena keberhasilannya menyembuhkan para penguasa negeri, Ibnu Sina berkesempatan mempelajari ilmu di perpustakaan-perpustakaan yang tertutp bagi orang kebanyakan.

Dalam masa hidup yang singkat, dan di tengah kesibukan berpolitik yang padat, Ibnu Sina ternyata berhasil menulis buku-buku yang sangat bagus. Di antaranya yang paling terkenal adalah Asy Syifa. Buku ini terdiri atas uraian tentang Logika, Fisika, Matematika, dan Metafisika. Di samping itu dia juga menulis Al Qonun tentang ilmu kedokteran, dan buku filsafat yang terakhir Al Isyarat wal Tanbihat. Buku-buku Ibnu Sina sangat terkenal dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Bahkan Al Qonun menjadi buku rujukan universitas-universitas di Eropa sampai dengan akhir abad ke-17.

Masa kegemilangan Filsafat Islam mengalami penurunan yang tajam ketika muncul pemikir besar Al Ghazali (1058-1111 M). Dia dilahirkan di Gazalah, dekat kota Tus yang waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan Islam. Pendidikannya dimulai dengan belajar Al Qur’an kepada ayahnya sendiri, kemudian kepada beberapa guru yang di antaranya adalah para Sufi besar. Lapangan ilmu yang didalaminya cukup luas yakni Ilmu Fiqh, Ilmu Kalam, Manthiq, Filsafat, dan Tasauf.

Pada masa pematangannya dia belajar di Madrasah Nizamiyah di Nisabur, yang dipimpin oleh ulama besar Al Haramain Al Juwaini, seorang penganut Asy'ariyah. Al Ghazali kemudian menggantikan tugas gurunya tersebut. Lebih dari 100 buku yang telah ditulisnya, meliputi berbagai bidang ilmu. Di antaranya yang sangat terkenal adalah Ihya ‘Ulumuddin dan Al Munqidz min ad Dholal, yang membicarakan aneka masalah keagamaan. Dalam bidang filsafat dia menulis dua buku yakni Maqosid al Falasifah(Tujuan para Filsuf), dan Tahafut al Falasifah. (Kesalahan para Filsuf). Buku-buku ini melancarkan kritik yang keras terhadap filsafat dan para filosof.

Al Ghazali memang pernah mengalami keraguan yang besar dalam hati karena syak terhadap apa yang telah dipelajarinya. Dia mulai tak percaya kepada pengetahuan inderawi karena ternyata bahwa indera itu sering kali salah. Kemudian dia mencoba mempercayai akal akan tetapi ternyata akal juga sering keliru. Kemudian dia menempuh jalan tasauf untuk memperoleh kebenaran dan jalan inilah yang bagi Al Ghazali mendatangkan kepuasan sejati. Proses itu ditulisnya dalam Al Munqidz min ad Dholal. Terhadap filsafat dia menyatakan penolakan yang keras. Pemikirannya itu dituangkan dalam Maqosid al Falasifah, kemudian ditegaskannya lagi dalam Tahafut al Falasifah. Al Ghazali mengemukakan sepuluh kesalahan falsafah, tiga di antaranya dianggapnya sebagai pembawa kekufuran.

Tiga hal tersebut adalah pendapat bahwa alam ini qadim(terdahulu, tidak berawal), bahwa Tuhan tidak mengetahui rincian-rincian, dan bahwa kebangkitan di hari Kiamat nanti hanyalah kebangkitan ruh, tidak ada kebangkitan jasmani. Pada pokoknya Al Ghazali berpendapat bahwa pikiran-pikiran tersebut menyesatkan, karena umat akan mengecilkan arti Tuhan, yang sama qadim-nya dengan alam, yang tidak mengetahui hal-hal yang rinci. Selain itu menurut Al Ghazali, pendapat itu jelas bertentangan dengan nash Al Qur’an.

Karena kritik-kritiknya yang pedas terhadap filsafat, maka orang berbeda pendapat tentang apakah Al Ghazali seorang filsuf atau bukan. Namun faktanya ialah Al Ghazali tetap menggunakan logika dan cara berfikir filsafat untuk menyerang apa yang disebutnya sebagai sepuluh kesalahan filsafat. Dia juga tetap menggunakan berbagai argumen filsafat untuk masalah keagamaan lainnya. Pengaruh Al Ghazali ternyata sangat besar di kalangan ummat Islam, dan tetap terasa sampai sekarang. Keterangannya yang disertai argumen logis dan mudah dimengerti, menjadikan pemikirannya sangat populer sampai ke lapisan awam.

Para pemikir generasi sesudahnya banyak mengritik Al Ghazali sebagai penyebab kemunduran Islam, karena dia telah menciptakan suasana anti filsafat, yang berarti menolak berpikir secara mendalam. Akan tetapi para pendukungnya menyatakan bahwa Al Ghazali hidup justru di tengah kelesuan yang diakibatkan karena orang tidak lagi menghayati jiwa ajaran Islam. Orang disibukkan hanya untuk melakukan ibadah ritual tanpa memahami maknanya, atau disibukkan oleh pertentangan pendapat yang tidak ada habis-habisnya tentang masalah yang tidak ada nilai kegunaannya. Oleh karena itulah dia bekerja keras untuk menghidupkan kembali semangat Islam, antara lain melalui bukunya Ihya 'Ulumuddin.

Kritik Al Ghazali terhadap filsafat tentu saja tidak diterima dengan suka rela oleh para filsuf. Serangan balik dilakukan terutama oleh Ibnu Rusyd (1261-1198 M). Filsuf ini bernama asli Abdul Walid Muhammad bin Ahmad ibnu Rusyd. Dia dilahirkan di Cordova dari keluarga hakim yang mempunyai kedudukan tinggi. Pada mulanya dia memperoleh kedudukan yang baik pula di bawah Khalifah Abu Yusuf Al Manshur, bahkan dianggap sebagai ‘Raja Segala Pikiran’ karena pendapatnya diikuti oleh semua orang. Akan tetapi kemudian dia dipenjarakan sebagai akibat fitnah yang dilancarkan orang-orang yang tidak suka filsafat. Karena pembelaan para penganutnya dia kemudian dibebaskan tetapi tidak lama kemudian terkena fitnah lagi dan diasingkan ke Maroko.

Filsuf ini merupakan pengagum Aristoteles dan dikenal sebagai pengulas Aristoteles yang paling terkemuka. Hasil karyanya yang membela filsafat antara lain Tahafut al Tahafut yang menguraikan kesalahan Al Ghazali dalam bukunya Tahafut al Falasifah. Bukunya yang lain Bidayatul Mujtahid mempunyai nilai sangat tinggi di bidang Ilmu Fiqh. Pada masa Ibnu Rusyd ini pemikiran-pemikiran Aristoteles ‘dimurnikan’ dari pengaruh Neo Platonisme dan memperoleh penerimaan yang paling baik di kalangan cendekiawan Islam. Akan tetapi setelah itu kemudian merosot bersamaan dengan merosotnya pengaruh filsafat, dan untuk masa yang sangat panjang tidak bangkit kembali. [Sakib Machmud]

Al-Farabi berkata: Failusuf adalah orang yang menjadikan seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya mencari hikmah yaitu mema'rifati Allah yang mengandung pengertian mema'rifati kebaikan.

Ibnu Sina mengatakan, hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuan manusia.

Telah disebutkan bahwa objek filsafat adalah menelaah hakikat tentang Tuhan, tentang manusia dan tentang segala realitas yang nampak di hadapan manusia. Ada beberapa persoalan yang biasa dikedepankan dalam mencari objek filsafat meskipun akhirnya tidak akan lepas dari ketiga hal itu, yaitu:
  Dari apakah benda-benda dapat berubah menjadi lainnya, seperti perubahan oksigen dan hidrogen menjadi air?
  Apakah jaman itu yang menjadi ukuran gerakan dan ukuran wujud semua perkara?
  Apakah bedanya makhluk hidup dengan makhluk yang tidak hidup?
  Apakah ciri-ciri khas makhluk hidup itu?
  Apa jiwa itu? Jika jiwa itu ada, apakah jiwa manusia itu abadi atau musnah?
  Dan masih ada lagi pertanyaan-pertanyaan lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar